top of page
Search
bettytjiptasari

From the Book "In the Shadow of Death" by Anthony Yeo (Written in English & in Indonesian Language)

Updated: Jun 14, 2021

English (terjemahan Bahasa Indonesia ada di bagian bawah):

People who are diagnosed with a terminal disease such as cancer would have many feelings and needswhich are not easy for other people to understand. Often with a good intention, others want to comfort him/her, but they end up in doing or saying things that make him/her suffer even more.

What does this person need the most? It is our availability and empathy. We need to be sensitive to his feelings and needs; physical needs such as helping him change positions or cleaning himself, emotional needs such as listening and understanding, spiritual needs such as providing prayer support and fellowship.

We need to choose words carefully (e.g., not saying "How are you" every time we visit him/her, because many people usually ask these trite questions). It is important not to tell him/her that we understand her suffering when we don't fully understand (in most cases we don’t!!). It's better to say, "I may not fully understand how you feel, but I really want to understand how you feel and want to support you”.

We need to be aware of our feelings about our own death to be more sensitive and effective in assisting people with terminal illness or those who are facing grief due to death. We need to feel comfortable with “death” itself.

We also need to allow "tears" or other expressions of sadness to help the person express his/her feelings fully. Avoid saying things such as "Don't be sad, God knows what's best for us" because it is not very helpful. People who are suffering or grieving need a space and chance to fully express their feelings so that they canovercome their feelings of grief or suffering.

I heard people telling me "Yes, don't remember it again" when I was grieving. Hearing this made me feel thatmy "grief" was unacceptable, or that remembering memories about the deceased which made me sad was"wrong". Others tried to support me by telling me not to remember or to cheer me up, but it turned out that their words made me feel "unaccepted".

We also need to give the person with terminal illness or those who are grieving a space to be alone. Itmeans that we give him/her the opportunity to think and to struggle with themselves about what they have been through, what they are experiencing, and what they will face. It is needed to help them to have comprehend the whole picture of their life event.

The person needs time to understand her/himself so that he/she can finally accept his/her condition. Giving the opportunity to be alone also prevents the person from becoming too “tired” of always having to “accept the guest and serve the guest”. Although, on the other hand, the presence of other people who provide support is very important for him/her to make him /her feel that he/she is not abandoned.

To response or act appropriately, we need to give attention to his/her other needs, such as getting the information he/she wants to know, the need to feel productive, the need to feel that his/her life is meaningful, the need to have a full relationship with other people, the need to understand the meaning of the events he/she is facing, the need to understand death and how to face death, the need for privacy, and the need for spiritual/fellowship with fellow believers.

There is no mechanical technique that can be formulated to provide assistance or counseling to those who are facing death or those who are grieving. Although our advanced knowledge and skills will help us to help them, it is not enough. We need to have empathy, sensitivity to the needs of people who are grieving or having terminal illness, willingness to listen, expand our vocabulary so that we can give a richer verbal response. This is like an art because the way we deal with one person will be different from another.


Indonesian Language/Bahasa Indonesia:


Orang yang divonis tidak akan lama lagi hidup karena penyakit sepeti kanker mengalami banyak perasaan dan memiliki kebutuhan yang tidak mudah untuk kita pahami. Namun seringkali dengan maksud baik untuk menghibur atau menguatkannya, kita justru melakukan hal-hal yang kurang tepat yang justru membuatnya makin menderita. Yang paling diperlukan oleh orang ini adalah ketersediaan kita (availability) baginya dan empati. Kita perlu peka dengan perasaan dan kebutuhannya (baik itu kebutuhan fisik seperti membantunya mengganti posisi tidur atau membersihkan diri, kebutuhan emosi seperti mendengarkan dan memahami, kebutuhan spiritual seperti memberikan dukungan doa dan persekutuan), memilih kata-kata dengan hati-hati (misalnya tidak mengatakan “Apa kabarmu” setiap kali berkunjung karena biasanya begitu banyak orang mengatakan pertanyaan basa-basi ini), dan tidak mengatakan bahwa kita mengerti penderitaannya padahal kita tidak mengerti sepenuhnya (lebih baik mengatakan, “Aku mungkin tidak sepenuhnya bisa memahami apa yang kau rasakan, tapi sungguh aku ingin mengerti apa yang kau rasakan dan mendukungmu”).

Untuk dapat menjadi orang yang lebih peka dan efektif dalam mendampingi orang yang mengalami sakit terminal atau orang yang menghadapi kedukaan karena kematian, kita perlu merasa nyaman dengan “kematian” itu sendiri. Dalam arti, kita sendiri perlu menyadari perasaan-perasaan kita mengenai kematian kita sendiri. Kita juga perlu tidak merasa jengah dengan “air mata” atau ekspresi kesedihan lain untuk menolong orang yang bersangkutan mengekspresikan perasaannya dengan penuh. Tindakan yang berusaha untuk menghibur dengan mengatakan “Jangan bersedih, Tuhan tahu yang terbaik untuk kita” justru tidak terlalu menolong. Orang yang menderita atau berduka perlu diberi tempat untuk mengeluarkan perasaannya secara penuh, barulah dia dapat mengatasi perasaan duka atau deritanya. Saya sendiri pernah menghadapi pernyataan “Sudah, jangan diingat-ingat lagi”, dan pernyataan itu membuat saya merasa bahwa “berduka” atau mengingat kenangan mengenai almarhum yang membuat sedih adalah “salah” dan merasa “tidak diterima”.

Dalam menghadapi orang yang menderita penyakit terminal, kita juga perlu memberi ruang kepadanya untuk sendiri. Artinya kita memberi dia kesempatan untuk berpikir dan menggumulkan sendiri apa yang telah, sedang dan akan dihadapinya dan memiliki pandangan yang lebih utuh mengenai hal itu. Dia perlu waktu untuk mengendapkan dan kemudian memahami sehingga akhirnya dapat mencapai titik penerimaan akan kondisinya. Memberi kesempatan untuk sendiri juga mencegah orang tersebut menjadi “lelah” karena harus selalu “menerima tamu dan meladeni tamu itu”. Meskipun di sisi lain, kita juga harus menggarisbawahi bahwa kehadiran orang lain yang memberi dukungan sangat penting baginya untuk membuatnya merasa bahwa dia tidak ditinggalkan.

Kita juga perlu memahami kebutuhan lain dari seorang yang menghadapi kematiannya, agar kita dapat bertindak dengan tepat. Kebutuhan seperti mendapat informasi yang ingin dia ketahui, kebutuhan untuk merasa tetap berguna, kebutuhan untuk merasa bahwa hidupnya berarti, kebutuhan untuk tetap memiliki relasi yang penuh dengan orang lain, kebutuhan untuk memahami makna dari peristiwa yang sedang dia hadapi, kebutuhan untuk memahami dan menghadapi kematiannya, kebutuhan akan privasi dan kebutuhan spiritual/persekutuan dengan saudara seiman.

Tidak ada teknik mekanis yang dapat dirumuskan untuk memberi pendampingan atau konseling kepada mereka yang sedang menghadapi kematian maupun orang yang berduka. Meskipun pengetahuan dan ketrampilan membantu kita, namun itu tidak cukup. Kita perlu mengembangkan kemampuan empati, kepekaan akan kebutuhan orang yang sedang menderita sakit terminal atau oran yang berduka, kesediaan untuk mendengarkan, mengembangkan kosa kata agar dapat memberi respon verbal secara lebih kaya. Hal ini adalah seperti sebuah seni, cara kita menghadapi seorang yang satu akan berbeda dengan orang yang lain.


62 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page